25/04/11

Wanita penggoda

tubuhnya terbilang kecil, namun sesuai dengan usianya yang masih muda. rambutnya dipeliharanya hingga panjang. kulitnya kecoklatan, sebagian besar karena matahari yang mungkin dibiarkannya membakar kulitnya. kulit coklat itu dihiasi beberapa bekas luka yang sama sekali tidak pernah membuatnya risih. senyumnya sedikit menghina, namun tetap terlihat manis, aku yakin semua pria setuju. matanya tak begitu terasah, namun nampak jelas olehku bahwa matanya sudah menangkap semua pandangan yang terarah padanya.
rumahnya tak jauh dariku, dan di depannya lah kami kerap bertemu. jelas, bahwa bukan aku satu-satunya yang datang ke tempat itu untuknya. kerap kali dia tersenyum sambil melihatku, dia tak perlu mengatakannya namun kami adalah teman.
dalam keramaian, senyumnya lebih lebar, tak jarang menjelma menjadi tawa yang menggoda. matanya tetap menjadi jaring yang menangkap semua pandangan yang terarah padanya.
dia benar-benar sadar kapan waktunya berada di dekatku, dan kapan waktunya melompat ke seberang jurang untuk memasang jarak dariku.
dia tahu untuk melakukan itu kepada semua orang, namun sebagian besar pria tak peduli itu.
dia sempat memberitahuku, betapa senangnya dia menjadi pusat perhatian, betapa mudahnya dia menangkap semua hati pria-pria tamak, keji, ataupun pria setengah suci.
saat dia di depanku, aku sepenuhnya sadar, dia mencoba menggodaku. aku merasa dia menangkap hatiku yang ingin melompat ke pelukannya. namun aku sepenuhnya sadar, bahwa aku hanyalah pria malang tak punya harapan, ku tahan hatiku agar tetap pada tempatnya. dia terus mencoba, nampaknya apa yang ku lakukan membuatnya makin penasaran.
rambutnya yang terbelah memberikan pemandangan kecil mengenai kepalanya yang nampak jelas telah berpikir keras.
tapi aku segera pergi dari kotanya, pergi dengan harapan manis yang dibiarkannya.
dan kami adalah teman. tak perlu dikatakannya itu.
namun seluruh pria adalah budak ketamakan. tak pernah cukup bagi mereka hanya memiliki, mereka ingin menguasai.
itulah yang terjadi padanya, dia mungkin nampak seperti kota berlian di mata pasukan panakluk padang rumput. diapun jatuh ke tangan seorang pria, yang tak hanya ingin memilikinya, namun juga tak ingin seorangpun datang melihat kota berlian itu.
namun kami masih teman, hanya karena dia mengatakan itu.

21/04/11

69

Enampuluh Sembilan
Sudah begitu banyak, terlalu banyak mungkin.
semua ini berubah,
sepertinya bukan lagi hubungan segitiga antara aku, tulisanku, dan pembaca,
ini lebih menjadi hubungan segi empat antara aku, tulisanku, pembaca, dan isi dompetku.
Selamatkanlah aku dari miskin tujuan hidup.

19/04/11

Tulislah Kebenaran di Bungkus Kacang Itu!

Wajah orang itu, lagi-lagi tertampang di halaman utama surat kabar yang ku baca sepintas di lampu merah. Tak muncul niatku untuk membeli dan membaca surat kabar itu lebih lanjut, berita yang ada di dalamnya tak akan mengejutkan lagi. Wajah orang itu, pasti muncul karena hal sama yang membuatnya muncul di koran edisi kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Kesamaan tema dan tokoh yang tampak di headline ini sama sekali tak menarik niat pembaca seperti aku. Pada lampu merah kali ini, sepertinya banyak orang yang setuju denganku. Saat lampu hijau bersinar sang penjual koran, tanpa kekurangan selembarpun korannya, mundur lima langkah untuk menunggu lampu merah berikutnya.
Di tempat lain, yaitu di kampus, aku mendapatkan pendapat yang sama mengenai isi berita surat kabar hari ini dari insan-insan intelek yang kutemui. Mereka adalah mahasiswa, bukan cinderela dengan sepatu kaca yang selalu bersabar menerima penganiyayaan ibu tirinya. Mereka adalah mahasiswa, bukan sekedar pengendara yang terhenti di lampu merah. Mereka adalah mahasiswa, insan intelek, tak hanya bersabar menerima ke kacauan yang diberitakan media cetak yang diacuhkan oleh pengendara yang terhenti di lampu merah. Mahasiswa, benar, maha-siswa, tak hanya menerima dan mengacuhkan, mahasiswa sudah sewajarnya bersifat kritis.
Benar saja, mahasiswa-mahasiswa ini memang kritis. Mulut mereka bukan hanya mengeluarkan asap rokok, mulut mereka juga mengeluarkan makian-makian puitis saat memberi komentar pada isi koran hari ini. Tangan mereka dipukulkan ke permukaan meja. Nada suara mereka meninggi. Segera tangan mereka meraih spanduk dan toa. Tubuh mereka tak lupa untuk menggunakan jas almamater. Kaki mereka berbondong-bondong melangkah ke jalan-jalan, beropini dengan sopan.
Segera spanduk mereka menggantikan wajah orang yang biasanya bertengger di headline koran. Teriakan mereka didengar, mungkin didengar, semoga didengar. Berita tentang mereka, yang menyerukan antipati pada orang dengan wajah yang diberitakan di koran yang tidak dibaca oleh orang-prang di lampu merah, kini di baca, mungkin dibaca, semoga dibaca. Spanduk itupun nampaknya menggantikan wajah orang itu secara semi-permanen di koran edisi hari-hari berikutnya.
Entah bagaimana, memamerkan spanduk di jalanan pun segera menjadi hobi mereka. Tema spanduk itupun beragam, antara antipati terhadap orang dengan wajah yang teroasang di headline koran di hari sebelum spanduk mereka mengisi headline koran itu, antipati terhadap sistem pendidikan yang membuat melahirkan mereka, antipati pada pemerintahan tahun depan, dan lain sebagainya. Tak selamanya spanduk mereka masuk ke berita. Saat berita tentang spanduk mereka hadirpun, kemungkinan kecil sekali wajah dan nama mereka tercantum.
Mungkin karena sudah tahu potensi kecil untuk menjadi populer dengan memamerkan spanduk antipati di jalanan, mungkin juga karena terinspirasi oleh semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara yang dengan keras mempertegas bahwa pendidikan adalah pembangunan kepribadian, atau mungkin sekedar takut dimarahi orang tuanya seorang mahasiswa tetap tinggal di bangkunya saat semua temannya pergi ke jalan-jalan untuk mengangkat spanduk dan berteriak-teriak. Tangannya di atas meja, memegang pena, mencoret-coret selembar kertas yang ada di depannya. Terlihat kuno memang, dasawarsa ini mungkin sebagian besar mahasiswa tak lagi rajin menggunakan pena dan mencoret kertas, namun tidak dengan yang satu ini.
Tugas kuliah? Surat cinta? Atau sekedar catatan harian? tidak ada yang tahu apa yang dia tulis, namun semua orng tahu bahwa namanya muncul di koran beberapa hari kemudian. Bukan di headline tentang pameran spanduk antipati di jalanan, namun di sebuah kolom dimana nama orang-orang hebat biasa terpampang sebagai kontributor, kolom opini.
Kecerdasan yang lebih? Tidak. Koneksi di penerbitan surat kabar? Bisa jadi. Tapi tak ada yang benar-benar membedakannya dengan mahasiswa lain. Dia mahasiswa seperti lainnya, mungkin pulihan tentang apa yang dilakukannyalah yang membedakannya. Di saat teman-temannya berseru di jalan, dia lebih memilih berseru di koran. Mungkin, karena kesadarannya tentang kemampuannya, tentang apa yang dipelajarinya selama 9 tahun di bangku sekolah; menulis. "apakah belajar menulis hanya bertujuan agar muncul kemampuan menulis tugas-tugas dalam proses belajar lainnya?", mahasiswa di negeri ini mungkin punya jawaban beragam atas pertanyaan ini, dia menjawab "TIDAK". Itulah sebabnya dia menulis untuk bangsanya, meski kemampuannya yang belum seberapa, meski tawa mungkin muncul dari teman-temannya. Meskipun koran yang memuatnya pada akhirnya akan menjadi bungkus kacang.

"katakan kebenaran, jangan teriakkan kemarahan; Berilah, jika engkau meminta lebih sedikit; dengan tiga langkah ini engkau akan lebih dekat dengan Tuhan"

- Confusius



Photobucket