01/06/09

Cahaya malam ini

Cahaya penuhi jalanan
malam ini tak kunjung padam
kegelapan hanya ada dalam khayalan
cerita tentang masa lalu dari kejayaan

Tak cukup semua pengorbanan
berarti kosong dan pertanyaan
tak ada yang inginkan jawaban
tak ada yang inginkan penjelasan

Hanya kita yang berjalan
dalam gelap malam
dan kaki telanjang
Namun cahaya telah memenuhi jalanan

Tentang Cinta dan kawan-kawannya

Mereka terlahir dalam putaran waktu,
hasil karya para pengguna waktu yang terdiri dari akal dan perasaan.

Akal, selalu mencoba menuju kebenaran, walau kebenaran itu terlalu tinggi untuk seluruh anak tangga akal.
Perasaan, selalu mencoba menemukan tempat terbaik baginya, terkadang dia menuntun akal untuk menuju tempat terbaik baginya.

namun terkadang, perasaan terlalu jauh melangkah dan menemukan tempat antah berantah baginya.
terlalu jauhnya perasaan membuat akal bahkan tak dapat mengetahui tempat apa itu.

maka, akal bersama akal dari perasaan lainnya mencoba menentukan nama tempat bagi perasaan itu masing-masing, agar mereka lebih mudah menemukan jalan menuju tempat tersebut dengan waktu tersingkat.
maka, akal-akal tersebut membentuk unsur-unsur dalam bahasa,
unsur-unsur yang mereka anggap akan lebih mudah menggambarkan peta dan keadaan perasaan,
maka muncullah cinta dan kawan-kawannya.

Mati Tertabrak Kereta Api di Perempatan Jalan

Seisi dunia sudah kuberikan
semua warna telah ku lukiskan
semua cahaya memenuhi jalanan
namun kau tetap saja bosan

Malam begitu indah,
langit bertaburan bintang,
cahaya memenuhi jalanan
namun aku masih merasa bosan

mengapa tidak kau berjalan
menembus perempatan
telanjang dan teriakkan
bahwa aku bajingan

Ku terus bertahan
kau pergi ku relakan
kau kembali aku izinkan
hanya saja aku bosan

Mawar Putih Malam Ini

Malam sudah mendekati akhir, angin dingin menghiasinya.
Sekuntum mawar putih tergeletak di tepi batu nisan yang berlapis debu.
Mawar putih itu bukan untuk melambangkan rasa duka, ini tentang arti lebih dalam dari bunga mawar itu.
Yang suci, yang tulus, yang putih, tanpa dosa, tanpa nyawa.

Ini adalah persembahannya yang terakhir sebelum dia mempersembahkan hidupnya,
mawar putih itu adalah permintaan terakhir pemilik nisan itu.
kini dia tertidur, lama, panjang, dalam, dan semoga saja indah...

Malam ini, angin menyapa dengan dinginnya. Terbanglah kelopak-kelopak dari mahkota indah berwarna putih bunga itu. Terbang hingga menjelajahi seluruh pelosok gelapnya malam.
Badai tiba, terbangkan semuanya, yang tersisa hanya tangkai tak berwarna, bangkai tak bernyawa, kotori dunia fana.

Untuk Dia yang telah mati tertebrak kereta api di perempatan jalan

Kita berada di dunia yang indah
hidup dengan sangat mudah
bukit-bukit di dataran rendah
dipenuhi istana-istana yang megah

Siapa yang berharap diri mereka tiada
mungkin hanya mereka yang putus asa
tapi terkadang itulah adanya
mereka yang mati tak pernah merasa

mereka berkata,
nafas masih berhembus
dan mereka makan,
mereka minum,
mereka bergerak,
dan mereka katakan
punya akal dan perasaan
terlebih, mereka menyimpan harapan.

Dan arti hidup hanyalah itu...

karena kita ada dalam dunia yang indah,
hidup terasa sangat mudah...

Mati Tertabrak Kereta Api di Perempatan Jalan Dalam Sebuah Cerita

Yah, mungkin orang-orang tahu siapa dia, mungkin juga tidak, aku lebih berharap anda tidak mengenalnya, karena aku akan menceritakan sisi lain dan kematian sisi lamanya.

Sepanjang siang dia terus berjalan, terus, lurus, melewati terik yang memanaskan debu-debu yang berkilau dan menyejukkan mata. Terkadang teman-temannya ada bersamanya, tapi itu tidak sering, aku lebih sering melihatnya berjalan sendirian, terus berjalan, hingga perempatan jalan.

Suatu hari, aku berdiri dengan kakiku di jalan yang sama dengannya. Kemudian, kakiku harus melangkah, dengan tujuan yang tak jauh dari tujuannya. Dan ragaku berada pada siang yang sama dengan siangnya. Jadi, aku putuskan untuk menemaninya, mungkin juga aku membuatnya menemaniku, atau mungkin saja kami tidak saling menemani, hanya berjalan di jalan yang sama dengan arah yang sama.

Sepanjang tahun sudah kami lewati dengan siang yang panas dan berdebu di jalan itu. Masih terus bertahan di jalan kecil yang tak cukup panjang untuk mencapai ujung samudera. Kita bersama, hanya bersama, mungkin juga tidak bersama.

Dan waktu berjalan, semua orang berubah. Aku coba untuk tetap menjadi aku, tapi semua orang berubah, dan aku juga dianggapnya berubah. Aku terjebak dalam kurungan waktu, dimana aku tak bisa terus berada dalam siang di jalan yang sama dengannya. Hanya bisa relakan ku berjalan sendiri, dia berjalan sendiri, terus berjalan, hingga perempatan jalan tempat kita berpisah.

Hingga pada suatu sore, dengan kecepatan cahaya. berhiaskan debu, ditemani terik matahari, aku melangkah di jalan yang biasa kami lewati berdua. Tapi kini aku sendiri. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengannya, betapa senang semestinya hatiku, tapi tidak, dia tidak sendiri, dia bersama sesosok pria yang berjalan bagai wanita dengan berlindung pada sebuah payung dari terik matahari. Pria yang aku yakin akan mati.

Ada apa denganku? seharusnya aku senang melihat dia memiliki seseorang yang lain, orang yang sudi bersama dengannya.
Tapi kenyataannya tidak, aku tidak senang, aku benci, apakah aku cemburu? ku harap tidak, tapi semua orang menganggapku begitu.

Ku hanya bisa relakan bila dia menemukan kebahagiaannya dengan mahluk yang takut matahari itu.
Tapi sayang, dia bagai gitar yang kehilangan senar 3 dan 4nya, dia merubah nadanya. Segalanya berubah. Tak ada lagi melodi menghiasi siang di jalan yang biasa kami lewati berdua, tak ada lagi senyum dan salam perpisahan "sampai jumpa" di perempatan jalan tempat kami berpisah.

Dia berubah, dan dia anggap aku yang berubah. Saat itu aku yakin, dia sudah mati, tapi aku salah, masih tersisa dirinya dalam tubuh itu, masih ada langkah-langkah sendunya ke arah yang sama denganku.
Ku coba merangkai kembali langkah-langkahku agar sejalan dengannya, tapi nampaknya tak bisa, langkahnya tak sama lagi dengan yang dulu, kini dia melangkah meninggalkanku.

Baginya, aku tak lagi dibutuhkan, dan untuk itu, aku sebaiknya dibuang.
Dia hanya menginginkanku ada saat dia membutuhkanku, mungkin untuk membawakan payung meneduhinya disaat dia membawakan payung untuk pria kegelapan itu.

Dan kini, di perempatan jalan, kami benar-benar berpisah, dia tak ucapkan "sampai jumpa", dia ucapkan "selamat tinggal", mungkin untuk selamanya, dan kali ini, aku yakin bahwa aku benar saat aku meyakini bahwa dia sudah mati. Mati tertabrak kereta api di perempatan jalan.

Untuk kematiannya, dia menginginkan aku berlutut penuh penyesalan, memohon maaf, meminta ampun, atas kesalahan yang segalanya adalah karena dia, haruskah?