09/10/09

Penjahat Kecil dan Anak Anjing

Di tepi jurang
semua hendak berbuat curang
tak peduli pada teman sejuang
demi mencapai seberang

Membunuh rumput
menyiksa semut
melunturkan lumut
demi kepuasan perut

Anak anjing menggigit penjahat kecil
tapi si kecil terlalu bodoh untuk sadar
anak anjing lari ke desa terpencil
dan penjahat berjaya beserta semua kadar

Mungkin Teman

Mereka punya sejuta
tak peduli siapa
tak peduli dimana
mereka pikir mereka tahu artinya

itu adalah bersama
menangis atau tertawa
mencuri atau berdusta
berjalan menjauhi surga

Maka aku dicela
aku dihina
aku dianiyaya
karena aku punya arti yang berbeda

kini hanya berjalan lurus
sekencang busur yang terhembus
menuju akhir yang bagus
untuk seluruh gugus

04/10/09

Ku Cintai Negeri Gempa

Tanahmu subur bagai tanah surga
Sungaimu bening mengalir dari nirwana
Lautmu dalam dan menenggelamkan jiwa
Di negerimu, apa yang tak ada?

Tarimu lembut mendayu-dayu
Lagumu mengalun merdu
Didengarkan anak dari sang ibu
Tak terbayankan yang lebih darimu

Ku hanya kotori tempat ini
dan keluhkan yang terjadi
hingga saatnya gempa bumi
ribuan jiwa mati

28/09/09

Bukan Karena Kau Miskin, Namun Karena Kau Lacur

Kau berjalan dengan kaki kecilmu,
lelah jelas terlihat dari wajah tak cantikmu,
keringat bercucuran, keluar dari pori-pori kulit sawo sangat matangmu.

dan kau berada di ujung paling ujung
dari sebuah desa yang berada di ujung negeri paling ujung
dan gubuk lusuhmu berada di kompleks paling ujung
tepat di dekat pertigaan, tepatnya rumah paling ujung

kau di pinggiran,
kau mungkin miskin semiskin-miskinnya hingga tak bisa mengakses dunia maya
kau mungkin miskin sehingga bisa membaca tulisan ini
kau memang miskin, sangat miskin

maka kau berjalan di jalanan panas penuh debu,
dengan perut yang tak kenyang dengan mie pangsit
dengan dosa yang kau buat selama kau merasa semakin baik

dan kau jual dirimu,
kau gadaikan jiwamu,
kau diskon harga dirimu,
hingga semua habis terjual dan kau bukan apa-apa.

kami membencimu bukan karena kau miskin,
namun karena kau lacur

16/08/09

aih dan ih?

"Merdeka!!!"
"hari ini kita Merdeka!!!"
teriakan itu bergema di sepanjang jalan,
di setiap sudut kota, di setiap ruang hampa,

"merdeka!!!"
setiap mulut dan tenggorokan serukan "merdeka!!!"
hari ini menggema, pagi hingga malam...

masih menggema,
orang tua berjalan menggandeng cucunya yang baru bisa berjalan,
bersama menuju kaki tiang bendera,
terjatuh, bangun, berdiri, terjatuh lagi dan merangkak,
agar mereka dapat lihat kibarnya, bebas, menusuk labgit tanpa batas,
dan agar mereka bisa berteriak dengan keras
"merdeka!!!"

bahkan pemulung membuang seluruh harta yang dia pungut, untuk semata-mata bisa dirikan sebuah tiang bambu dan bendera yang denga bangga dia kibarkan di atas tanah yang kakeknya pernah bilang
"merdeka!!!"

tapi aku idiot,
hanya bisa gambarkan aih dan ih,
hanya bisa sebut dua warna untuk lambangkan satu bangsa, satu nusa, yang susah payah baru dapat disebut dengan satu kata dalam satu bahasa "merdeka!!!"

dan orang-orang yang lebih bodoh dari aku, mengajukan satu pertanyaan yang lebih pintar dari pertanyaanku
"merdeka?"

aku bertanya-tanya dalam sorak sorai semangat anak muda yang merasa mereka merdeka sambil menikmati indahnya penjajahan,
itu, yah, itu,
semua itu ada di negeri ini,
yang sudah merdeka,
sudahkah merdeka?

27/07/09

Mengukir Kenangan

Bagaikan daun-daun kering
jatuh dan terbawa sungai bening
tak satupun tersisa di ranting-ranting
hanya pucuk-pucuk hijau kuning

bagaikan tembok kuat di tepi tebing
dibangun dengan air mata dan kerut kening
akan runtuh menjadi puing-puing
menyatu dengan hening

Dan semua umat manusia
Tak akan ada yang tersisa
semua akan binasa
tinggal kenangan dan dosa

Hari ini aku berdiri,
di sini, di satu sisi bumi,
mengukir dosa dalam kemenangan
mengukir kenangan

Metamorfosis Rasa Rindu

Lama tak bertemu
Tebarkan bibit rindu
Buahkan pilu
Yang merayap perlahan menguasai kalbu

Ku tahu kau tahu
Dan kau tahu itu
Tapi kau biarkan bagai angin lalu
melewati jalanan terbangkan debu

Bagai nyamuk yang mengganggu
untukmu begitulah aku
kau singkirkan dengan tanganmu
lalu kau buang semaumu

betapa tebal rinduku
Setebal gunung beribu-ribu
Rindu itu kini berubah menjadi batu
dan ku harap menghantam kepalamu!!!

01/06/09

Cahaya malam ini

Cahaya penuhi jalanan
malam ini tak kunjung padam
kegelapan hanya ada dalam khayalan
cerita tentang masa lalu dari kejayaan

Tak cukup semua pengorbanan
berarti kosong dan pertanyaan
tak ada yang inginkan jawaban
tak ada yang inginkan penjelasan

Hanya kita yang berjalan
dalam gelap malam
dan kaki telanjang
Namun cahaya telah memenuhi jalanan

Tentang Cinta dan kawan-kawannya

Mereka terlahir dalam putaran waktu,
hasil karya para pengguna waktu yang terdiri dari akal dan perasaan.

Akal, selalu mencoba menuju kebenaran, walau kebenaran itu terlalu tinggi untuk seluruh anak tangga akal.
Perasaan, selalu mencoba menemukan tempat terbaik baginya, terkadang dia menuntun akal untuk menuju tempat terbaik baginya.

namun terkadang, perasaan terlalu jauh melangkah dan menemukan tempat antah berantah baginya.
terlalu jauhnya perasaan membuat akal bahkan tak dapat mengetahui tempat apa itu.

maka, akal bersama akal dari perasaan lainnya mencoba menentukan nama tempat bagi perasaan itu masing-masing, agar mereka lebih mudah menemukan jalan menuju tempat tersebut dengan waktu tersingkat.
maka, akal-akal tersebut membentuk unsur-unsur dalam bahasa,
unsur-unsur yang mereka anggap akan lebih mudah menggambarkan peta dan keadaan perasaan,
maka muncullah cinta dan kawan-kawannya.

Mati Tertabrak Kereta Api di Perempatan Jalan

Seisi dunia sudah kuberikan
semua warna telah ku lukiskan
semua cahaya memenuhi jalanan
namun kau tetap saja bosan

Malam begitu indah,
langit bertaburan bintang,
cahaya memenuhi jalanan
namun aku masih merasa bosan

mengapa tidak kau berjalan
menembus perempatan
telanjang dan teriakkan
bahwa aku bajingan

Ku terus bertahan
kau pergi ku relakan
kau kembali aku izinkan
hanya saja aku bosan

Mawar Putih Malam Ini

Malam sudah mendekati akhir, angin dingin menghiasinya.
Sekuntum mawar putih tergeletak di tepi batu nisan yang berlapis debu.
Mawar putih itu bukan untuk melambangkan rasa duka, ini tentang arti lebih dalam dari bunga mawar itu.
Yang suci, yang tulus, yang putih, tanpa dosa, tanpa nyawa.

Ini adalah persembahannya yang terakhir sebelum dia mempersembahkan hidupnya,
mawar putih itu adalah permintaan terakhir pemilik nisan itu.
kini dia tertidur, lama, panjang, dalam, dan semoga saja indah...

Malam ini, angin menyapa dengan dinginnya. Terbanglah kelopak-kelopak dari mahkota indah berwarna putih bunga itu. Terbang hingga menjelajahi seluruh pelosok gelapnya malam.
Badai tiba, terbangkan semuanya, yang tersisa hanya tangkai tak berwarna, bangkai tak bernyawa, kotori dunia fana.

Untuk Dia yang telah mati tertebrak kereta api di perempatan jalan

Kita berada di dunia yang indah
hidup dengan sangat mudah
bukit-bukit di dataran rendah
dipenuhi istana-istana yang megah

Siapa yang berharap diri mereka tiada
mungkin hanya mereka yang putus asa
tapi terkadang itulah adanya
mereka yang mati tak pernah merasa

mereka berkata,
nafas masih berhembus
dan mereka makan,
mereka minum,
mereka bergerak,
dan mereka katakan
punya akal dan perasaan
terlebih, mereka menyimpan harapan.

Dan arti hidup hanyalah itu...

karena kita ada dalam dunia yang indah,
hidup terasa sangat mudah...

Mati Tertabrak Kereta Api di Perempatan Jalan Dalam Sebuah Cerita

Yah, mungkin orang-orang tahu siapa dia, mungkin juga tidak, aku lebih berharap anda tidak mengenalnya, karena aku akan menceritakan sisi lain dan kematian sisi lamanya.

Sepanjang siang dia terus berjalan, terus, lurus, melewati terik yang memanaskan debu-debu yang berkilau dan menyejukkan mata. Terkadang teman-temannya ada bersamanya, tapi itu tidak sering, aku lebih sering melihatnya berjalan sendirian, terus berjalan, hingga perempatan jalan.

Suatu hari, aku berdiri dengan kakiku di jalan yang sama dengannya. Kemudian, kakiku harus melangkah, dengan tujuan yang tak jauh dari tujuannya. Dan ragaku berada pada siang yang sama dengan siangnya. Jadi, aku putuskan untuk menemaninya, mungkin juga aku membuatnya menemaniku, atau mungkin saja kami tidak saling menemani, hanya berjalan di jalan yang sama dengan arah yang sama.

Sepanjang tahun sudah kami lewati dengan siang yang panas dan berdebu di jalan itu. Masih terus bertahan di jalan kecil yang tak cukup panjang untuk mencapai ujung samudera. Kita bersama, hanya bersama, mungkin juga tidak bersama.

Dan waktu berjalan, semua orang berubah. Aku coba untuk tetap menjadi aku, tapi semua orang berubah, dan aku juga dianggapnya berubah. Aku terjebak dalam kurungan waktu, dimana aku tak bisa terus berada dalam siang di jalan yang sama dengannya. Hanya bisa relakan ku berjalan sendiri, dia berjalan sendiri, terus berjalan, hingga perempatan jalan tempat kita berpisah.

Hingga pada suatu sore, dengan kecepatan cahaya. berhiaskan debu, ditemani terik matahari, aku melangkah di jalan yang biasa kami lewati berdua. Tapi kini aku sendiri. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengannya, betapa senang semestinya hatiku, tapi tidak, dia tidak sendiri, dia bersama sesosok pria yang berjalan bagai wanita dengan berlindung pada sebuah payung dari terik matahari. Pria yang aku yakin akan mati.

Ada apa denganku? seharusnya aku senang melihat dia memiliki seseorang yang lain, orang yang sudi bersama dengannya.
Tapi kenyataannya tidak, aku tidak senang, aku benci, apakah aku cemburu? ku harap tidak, tapi semua orang menganggapku begitu.

Ku hanya bisa relakan bila dia menemukan kebahagiaannya dengan mahluk yang takut matahari itu.
Tapi sayang, dia bagai gitar yang kehilangan senar 3 dan 4nya, dia merubah nadanya. Segalanya berubah. Tak ada lagi melodi menghiasi siang di jalan yang biasa kami lewati berdua, tak ada lagi senyum dan salam perpisahan "sampai jumpa" di perempatan jalan tempat kami berpisah.

Dia berubah, dan dia anggap aku yang berubah. Saat itu aku yakin, dia sudah mati, tapi aku salah, masih tersisa dirinya dalam tubuh itu, masih ada langkah-langkah sendunya ke arah yang sama denganku.
Ku coba merangkai kembali langkah-langkahku agar sejalan dengannya, tapi nampaknya tak bisa, langkahnya tak sama lagi dengan yang dulu, kini dia melangkah meninggalkanku.

Baginya, aku tak lagi dibutuhkan, dan untuk itu, aku sebaiknya dibuang.
Dia hanya menginginkanku ada saat dia membutuhkanku, mungkin untuk membawakan payung meneduhinya disaat dia membawakan payung untuk pria kegelapan itu.

Dan kini, di perempatan jalan, kami benar-benar berpisah, dia tak ucapkan "sampai jumpa", dia ucapkan "selamat tinggal", mungkin untuk selamanya, dan kali ini, aku yakin bahwa aku benar saat aku meyakini bahwa dia sudah mati. Mati tertabrak kereta api di perempatan jalan.

Untuk kematiannya, dia menginginkan aku berlutut penuh penyesalan, memohon maaf, meminta ampun, atas kesalahan yang segalanya adalah karena dia, haruskah?

17/05/09

Sebelum Malam

Tak dapat ku tahan sang mentari
jika dia memang harus pergi
ku biarkan dia sinari
sisi lain dari bumi

Langit kuning sore ini
adalah getaran nurani
adalah hasrat tiap insani
ketika hari tak lagi dini

dan manusia bermimpi
mengisi hari-hari
mulai dari dinginnya pagi
hingga mereka mati

biarkan mereka berhamburan
biarkan mereka berlumuran
darah hingga pukul delapan
sebelum hari berganti malam

Senja nan Elok di Hari Rabu 2

Suara ombak bergemuru halus,
Angin yang berhebus,
Bagai mendengar petikan gambus,
Menyejukkan kerongkongan yang haus.....

Tak juga hilang ingatanku,
Kala jari-jari mu menyentuh ragaku,
Hendak terucap kata dari dalam kalbu,
Namun lidahku tertahan kaku..

Nyanyian sumbang memecahkan angan,
Berlalu kita tanpa hambatan,
Menyisiri pantai yang kian menawan,
Laksana gagak yang tertawan.

Sore itu menemaniku bermimpi,
Andai kubisa bermain kembang api,
Menunggu terbitnya matahari.
Melihatmu tetap berada disisi..

Senja nan Elok di Hari Rabu

Suara ombak yang bergemuruh halus
Iringi angin yang berhembus
Entah kemana tujuannya
Tak peduli dan tak ingin ku bertanya
Tak juga hilang dari ingatanku
seluruh kata dan tawa
semua di antara kita
Semua yang warnai sore itu
Petikan dawai gitar penyamun
nyanyian sumbang yang mengalun
merampok dengan cara yang santun
mengganggu kita yang sedang melamun
Anak-anak kecil menjajakkan makanan
anak-anak yang terlupakan
selalu tertawa penuh harapan
tapi sangat mengganggu kemesraan
namun senja yang elok di sebelah barat
ibarat selamat tinggal yang tersirat
Adzan Maghrib menutup hari
berharap esok bertemu lagi

07/05/09

Terimakasih untuk Anggie

langkahku terseret menuju keramaian di alun-alun kota tua.. temanku menyeret tanganku ke suatu sudut dari alun-alun itu, di sudut itu telah menunggu dua orang perempuan yang sedang berbicara mengenai hal yang tak kudengar dengan jelas, yang ku bisa hanya melihat tawa di wajah mereka.temanku lalu berputar dari seorang penarik yang berada di depan, menjadi seorang pendorong yang ada di belakang, dengan target yang sama, yaitu aku. dia kini mendorongku. tawa geli dengan arti yang tidak bisa kupahami memancar darinya. dia mendorongku hingga berada tepat di depan salah seorang dari perempuan yang berdiri di suatu sudut alun-alun tersebut. dia kemudian menarik tangan perempuan yang satunya lagi kemudian pergi meninggalkanku dengan tertawa yang sepertinya mencemooh.kini hanya dengan perempuan itu dan rumput hijau yang kering dari alun-alun. perempuan itu bernama Anggie, aku mengenalnya, walau tidak begitu dekat dan karab, tapi aku mengenalnya. dari wajahnya hanya tersirat rasa malu dan selain itu tak dapat ku artikan apa itu. suara bising alun-alun dari percakapan orang-orang, hembusan angin, kicauan burung, hentakan kaki kuda, putaran roda, suara mesin, hingga bisikan rerumputan kering alun-alun menggaung di telingaku, begitu keras, begitu jelas. hingga aku tak bisa mendengar apa yang seharusnya ku dengar.Anggie berkata sesuatu padaku. pandangan matanya sedikit memancarkan rasa benci, entah pada siapa, aku sangat berharap bukan padaku. bibirnya yang mungil bergerak halus dengan irama yang tak juga bisa kuterjemahkan. apa yang dikatakannyapun tak dapat ku dengar, semua yang ku dengar hanyalah bisikan rerumputan, dan segala yang di atasnya, kecuali dia. aku sungguh tak mengerti apa yang dia katakan, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, dia hanya terus bicara dan aku tetap tak bisa mendengarnya.kata-katanya berhenti, kini tatap matanya semakin menunjukkan kebencian, sungguh aku semakin merasa bahwa kebenciannya ditujukan padaku. rasa takut akan rasa bencinya itu membuatku sungguh ingin berlari jauh darinya, bukan karena takut disakiti, hanya saja aku tak tega melihat kebencian sebesar itu daru dia untukku. aku sungguh ingin berlari, namun kaki ini bagaikan menempel di tanah, bagai di sekap oleh rumput-rumput kering alun-alun yang berada di bawah kakiku.entah mengapa, tubuhku tak ada dalam kendaliku. bahkan aku sampai berani menyentuh jemarinya dengan jemariku, walaupun hanya sentuhan kecil yang bagaikan tetesan air bagi telaga biru.setelah menyentuh jemarinya, bibirku bergerak, katakan sesuatu, pastinya padanya. lancar yang ku katakan, tapi tetap saja kali ini aku tak bisa mendengarnya. yang terdengar hanyalah detak jantungku yang tak karuan, bagaikan mengiringi syair-syair yang dilantunkan rerumputan kering.aku terus berkata, tanpa izin dan perintahku, aku terus saja berkata.nampaknya Anggie mengerti apa yang ku katakan. diapun tersenyum, ada malu dalam senyumnya. benci dalam tatapannyapun sedikit berkurang. itu membuatku lega. dan dia kembali berkata, aku tak bisa mendengarnya namun bisa membalasnya dan membuat dia mengerti dan membuatnya tersenyum dan membuat kebencian pada pandangannya berkurang dan membuatku lega. dan dia terus berkata.maka aku terlibat dalam dialog tanpa sepengtahuanku. aku hanya sebagai pelaku dalam cerita yang tak tahu jalan cerita, hanya bisa melihat, melihat rerumputan kering yang memenuhi seluruh sudut alun-alun, melihat burung-burung berdansa di udara, melihat awan mengukir makna di langit yang tak bosannya disebut biru, dan melihat senyumnya.tak ada artinya semua ketulian ini jika aku masih bisa melihatnya tersenyum, dan masih bisa mengetahui bahwa dia baik-baik saja, mungkin jauh lebih baik daripada waktu aku mendengar perkataannya.setelah senyumnya berubah menjadi tawa yang bahagia yang semakin lebar, kakiku mulai berjalan sendiri, diiringi langkah kakinya, mengitari alun-alun yang dihijaukan oleh rumput kering.dan kami berdua berjalan, terus berjalan, mengitari seluruh ruang tak terbatas beratapkan langit, di atas waktu yang berjalan. dan waktu memang terus berjalan hingga akhirnya terbitlah malam. dan tak bisa lagi ku tahan langkah kakinya yang berpamitan di bawah bulan.dan memang ku tak punya kuasa tuk paksa dia terpenjara dalam sebuah adegan sandiwara hidup ini.dan datanglah seorang pria yang mungkin berusia tigakali seluruh hidupku, mungkin dia ayahnya.pria itu menjemputnya untuk memastikan dia segera pulang dengan aman.Anggie menatapku sejenak, dia bisikkan sesuatu padaku yang pastinya tak dapat ku dengar, aku hanya tersenyum padanya, dan pada pria itu.dia segera melaju. meninggalkanku. tapi masih terasa hadirnya. masih terasa getaran-getaran yang muncul karenanya.sungguh dia masih nyata.Terimakasih untuk Anggie.

06/03/09

Nyanyian Sumbang

Harus bagaimana?
Ku dengar suara
menggema...
di mana-mana...

Tak bisa ku tutup telinga
ku tutup mata namun percuma
berlari tak tahu kemana
semua arah terlihat sama

suara itu menggema,
tangisan yang merana,
jeritan riang para pendosa,
suara-suara nestapa

04/03/09

Singgasanamu yang Tinggi

Yang benar,
yang selalu benar,
tak pernah salah,
tak pernah kalah.

kau hidup di puncak dunia,
dimana segalanya ada,
melihat di balik cahaya,
duduk di singgasana.

dan apapun yang ku katakan padamu,
tak pernah tertinggal,
setiap kita bertemu,
hanyalah hatiku yang terpenggal.

Tidak merasa?
kau tak percaya?
lihatlah seisi dunia
lihatlah tanpa mata

tapi tak satupun dari ucapanku yang dapat membuatmu turun dari singgasanamu yang tinggi.

Bangkitlah Kejahatan!!!

Pernahkah kau berbuat baik padaku?
tidak... tentu saja tidak..

hidup ini adalah kejahatan.
semuanya kejahatan.
hanya orang jahat yang tega berbuat baik.

jahat...
aku jahat,
kamu jahat,
dia jahat,
kita semua jahat.

persetan dengan kebaikan,
kejahatan itu memang sangat baik.
bayangkan hidup ini tanpa kejahatan, apa jadinya?
tapi, bayangkan hidup tanpa kebaikan? yah seperti sekarang ini.

maka dari itu,
saya mengajak saudara-saudari dari seluruh penjuru negeri sipil maupun swasta,
mari kita bersama-sama berkerja-sama, gotong royong, bahu membahu, bantu membantu untuk memusnakhakn persatuan dan kesatuan,
dan mari kita berbuat kejahatan sebaik mungkin demi kesejahteraan umat manusia yang memang sangat jahat.

08/01/09

Aku Tidak Sedang Patah Hati

Aku berputar di dunia kecilku,
berjalan menyusuri reruntuhan masa depanku,
kutemukan puing-puing hatiku,
kususun dan kelak akan hancur lagi.

Aku tidak sedang patah hati,
aku tidak sedang menangis,
sungguh aku tak merindukanmu,
aku hanya tak bisa melupakanmu.

Untuk secarik nama

Mulutku mulai berkata kotor,
Ribuan kali kusebut namanya,
Dia yang membuatku menyebut namanya,
dan juga berkata kotor.

Sebanyak aku berkata kotor,
Sebanyak itu pula kusebut namanya,
Sekotor kata-kata yang terlontar dari mulutku,
sebersih itu pula namanya.

Aku tak bisa selalu kau butuhkan...

Bulan terbelah dua,
di langit berwarna biru,
Aku tak sempurna,
tak bisa selalu disisimu,

coretan tinta,
di lembaran halaman buku,
tak bisa jadi yang kau minta,
tak bisa menjadi bagian hidupmu,

kupu-kupu itu entah kemana,
terbang menuju pusat senja,
aku tak bisa menjadi yang kau cinta,
jadi lupakan semua.

Di Televisi

Ku lihat mayat berserakan di Jalur Gaza
Matahari akan membakar Kutub Utara
Perang akan mengakhiri dunia
kulihat semua di layar kaca

Ku lihat kotornya para politisi
sadisnya para pemutilasi
sombongnya para musisi
semuanya di layar teleivisi

jika manusia terlakhir
lihatlah di televisi
bila dunia berakhir
lihatlah televisi

di televisi
televisi
tv...

06/01/09

Menjambretmu

kau berjalan di keramaian
dan aku mendekatimu perlahan

aku tahu, kamu tak tahu.
maka aku memulai aksiku.

dengan keberanian di dada,
semangat di jiwa,
dan hati penuh cinta,
kulakukan bagai tanpa dosa.

menjambretmu...
itu yang ku mau...
menjambretmu...
selalu kutunggu...

menjambretmu...
bukanlah salahku,
kau yang memberiku kesempatan.