07/05/09

Terimakasih untuk Anggie

langkahku terseret menuju keramaian di alun-alun kota tua.. temanku menyeret tanganku ke suatu sudut dari alun-alun itu, di sudut itu telah menunggu dua orang perempuan yang sedang berbicara mengenai hal yang tak kudengar dengan jelas, yang ku bisa hanya melihat tawa di wajah mereka.temanku lalu berputar dari seorang penarik yang berada di depan, menjadi seorang pendorong yang ada di belakang, dengan target yang sama, yaitu aku. dia kini mendorongku. tawa geli dengan arti yang tidak bisa kupahami memancar darinya. dia mendorongku hingga berada tepat di depan salah seorang dari perempuan yang berdiri di suatu sudut alun-alun tersebut. dia kemudian menarik tangan perempuan yang satunya lagi kemudian pergi meninggalkanku dengan tertawa yang sepertinya mencemooh.kini hanya dengan perempuan itu dan rumput hijau yang kering dari alun-alun. perempuan itu bernama Anggie, aku mengenalnya, walau tidak begitu dekat dan karab, tapi aku mengenalnya. dari wajahnya hanya tersirat rasa malu dan selain itu tak dapat ku artikan apa itu. suara bising alun-alun dari percakapan orang-orang, hembusan angin, kicauan burung, hentakan kaki kuda, putaran roda, suara mesin, hingga bisikan rerumputan kering alun-alun menggaung di telingaku, begitu keras, begitu jelas. hingga aku tak bisa mendengar apa yang seharusnya ku dengar.Anggie berkata sesuatu padaku. pandangan matanya sedikit memancarkan rasa benci, entah pada siapa, aku sangat berharap bukan padaku. bibirnya yang mungil bergerak halus dengan irama yang tak juga bisa kuterjemahkan. apa yang dikatakannyapun tak dapat ku dengar, semua yang ku dengar hanyalah bisikan rerumputan, dan segala yang di atasnya, kecuali dia. aku sungguh tak mengerti apa yang dia katakan, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, dia hanya terus bicara dan aku tetap tak bisa mendengarnya.kata-katanya berhenti, kini tatap matanya semakin menunjukkan kebencian, sungguh aku semakin merasa bahwa kebenciannya ditujukan padaku. rasa takut akan rasa bencinya itu membuatku sungguh ingin berlari jauh darinya, bukan karena takut disakiti, hanya saja aku tak tega melihat kebencian sebesar itu daru dia untukku. aku sungguh ingin berlari, namun kaki ini bagaikan menempel di tanah, bagai di sekap oleh rumput-rumput kering alun-alun yang berada di bawah kakiku.entah mengapa, tubuhku tak ada dalam kendaliku. bahkan aku sampai berani menyentuh jemarinya dengan jemariku, walaupun hanya sentuhan kecil yang bagaikan tetesan air bagi telaga biru.setelah menyentuh jemarinya, bibirku bergerak, katakan sesuatu, pastinya padanya. lancar yang ku katakan, tapi tetap saja kali ini aku tak bisa mendengarnya. yang terdengar hanyalah detak jantungku yang tak karuan, bagaikan mengiringi syair-syair yang dilantunkan rerumputan kering.aku terus berkata, tanpa izin dan perintahku, aku terus saja berkata.nampaknya Anggie mengerti apa yang ku katakan. diapun tersenyum, ada malu dalam senyumnya. benci dalam tatapannyapun sedikit berkurang. itu membuatku lega. dan dia kembali berkata, aku tak bisa mendengarnya namun bisa membalasnya dan membuat dia mengerti dan membuatnya tersenyum dan membuat kebencian pada pandangannya berkurang dan membuatku lega. dan dia terus berkata.maka aku terlibat dalam dialog tanpa sepengtahuanku. aku hanya sebagai pelaku dalam cerita yang tak tahu jalan cerita, hanya bisa melihat, melihat rerumputan kering yang memenuhi seluruh sudut alun-alun, melihat burung-burung berdansa di udara, melihat awan mengukir makna di langit yang tak bosannya disebut biru, dan melihat senyumnya.tak ada artinya semua ketulian ini jika aku masih bisa melihatnya tersenyum, dan masih bisa mengetahui bahwa dia baik-baik saja, mungkin jauh lebih baik daripada waktu aku mendengar perkataannya.setelah senyumnya berubah menjadi tawa yang bahagia yang semakin lebar, kakiku mulai berjalan sendiri, diiringi langkah kakinya, mengitari alun-alun yang dihijaukan oleh rumput kering.dan kami berdua berjalan, terus berjalan, mengitari seluruh ruang tak terbatas beratapkan langit, di atas waktu yang berjalan. dan waktu memang terus berjalan hingga akhirnya terbitlah malam. dan tak bisa lagi ku tahan langkah kakinya yang berpamitan di bawah bulan.dan memang ku tak punya kuasa tuk paksa dia terpenjara dalam sebuah adegan sandiwara hidup ini.dan datanglah seorang pria yang mungkin berusia tigakali seluruh hidupku, mungkin dia ayahnya.pria itu menjemputnya untuk memastikan dia segera pulang dengan aman.Anggie menatapku sejenak, dia bisikkan sesuatu padaku yang pastinya tak dapat ku dengar, aku hanya tersenyum padanya, dan pada pria itu.dia segera melaju. meninggalkanku. tapi masih terasa hadirnya. masih terasa getaran-getaran yang muncul karenanya.sungguh dia masih nyata.Terimakasih untuk Anggie.

Tidak ada komentar: