01/06/09

Mati Tertabrak Kereta Api di Perempatan Jalan Dalam Sebuah Cerita

Yah, mungkin orang-orang tahu siapa dia, mungkin juga tidak, aku lebih berharap anda tidak mengenalnya, karena aku akan menceritakan sisi lain dan kematian sisi lamanya.

Sepanjang siang dia terus berjalan, terus, lurus, melewati terik yang memanaskan debu-debu yang berkilau dan menyejukkan mata. Terkadang teman-temannya ada bersamanya, tapi itu tidak sering, aku lebih sering melihatnya berjalan sendirian, terus berjalan, hingga perempatan jalan.

Suatu hari, aku berdiri dengan kakiku di jalan yang sama dengannya. Kemudian, kakiku harus melangkah, dengan tujuan yang tak jauh dari tujuannya. Dan ragaku berada pada siang yang sama dengan siangnya. Jadi, aku putuskan untuk menemaninya, mungkin juga aku membuatnya menemaniku, atau mungkin saja kami tidak saling menemani, hanya berjalan di jalan yang sama dengan arah yang sama.

Sepanjang tahun sudah kami lewati dengan siang yang panas dan berdebu di jalan itu. Masih terus bertahan di jalan kecil yang tak cukup panjang untuk mencapai ujung samudera. Kita bersama, hanya bersama, mungkin juga tidak bersama.

Dan waktu berjalan, semua orang berubah. Aku coba untuk tetap menjadi aku, tapi semua orang berubah, dan aku juga dianggapnya berubah. Aku terjebak dalam kurungan waktu, dimana aku tak bisa terus berada dalam siang di jalan yang sama dengannya. Hanya bisa relakan ku berjalan sendiri, dia berjalan sendiri, terus berjalan, hingga perempatan jalan tempat kita berpisah.

Hingga pada suatu sore, dengan kecepatan cahaya. berhiaskan debu, ditemani terik matahari, aku melangkah di jalan yang biasa kami lewati berdua. Tapi kini aku sendiri. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengannya, betapa senang semestinya hatiku, tapi tidak, dia tidak sendiri, dia bersama sesosok pria yang berjalan bagai wanita dengan berlindung pada sebuah payung dari terik matahari. Pria yang aku yakin akan mati.

Ada apa denganku? seharusnya aku senang melihat dia memiliki seseorang yang lain, orang yang sudi bersama dengannya.
Tapi kenyataannya tidak, aku tidak senang, aku benci, apakah aku cemburu? ku harap tidak, tapi semua orang menganggapku begitu.

Ku hanya bisa relakan bila dia menemukan kebahagiaannya dengan mahluk yang takut matahari itu.
Tapi sayang, dia bagai gitar yang kehilangan senar 3 dan 4nya, dia merubah nadanya. Segalanya berubah. Tak ada lagi melodi menghiasi siang di jalan yang biasa kami lewati berdua, tak ada lagi senyum dan salam perpisahan "sampai jumpa" di perempatan jalan tempat kami berpisah.

Dia berubah, dan dia anggap aku yang berubah. Saat itu aku yakin, dia sudah mati, tapi aku salah, masih tersisa dirinya dalam tubuh itu, masih ada langkah-langkah sendunya ke arah yang sama denganku.
Ku coba merangkai kembali langkah-langkahku agar sejalan dengannya, tapi nampaknya tak bisa, langkahnya tak sama lagi dengan yang dulu, kini dia melangkah meninggalkanku.

Baginya, aku tak lagi dibutuhkan, dan untuk itu, aku sebaiknya dibuang.
Dia hanya menginginkanku ada saat dia membutuhkanku, mungkin untuk membawakan payung meneduhinya disaat dia membawakan payung untuk pria kegelapan itu.

Dan kini, di perempatan jalan, kami benar-benar berpisah, dia tak ucapkan "sampai jumpa", dia ucapkan "selamat tinggal", mungkin untuk selamanya, dan kali ini, aku yakin bahwa aku benar saat aku meyakini bahwa dia sudah mati. Mati tertabrak kereta api di perempatan jalan.

Untuk kematiannya, dia menginginkan aku berlutut penuh penyesalan, memohon maaf, meminta ampun, atas kesalahan yang segalanya adalah karena dia, haruskah?

Tidak ada komentar: